Sabtu, 06 April 2013

Sekelebat kisah kecil


Baiknya jangan mempertanyakan sesuatu yang jelas jawabannya. Sekedar Make Sure bukanlah hal baik untuk perbincangan hati. ada hal yang tanpa ditanya akan terjawab sendiri, ada hal yang mampu dijawab namun hanya bisa sekali karena terlalu sakit untuk diulang. ada banyak hal yang kita tahu namun tak perlu diberitahu. seperti kisah kecil ini, yang kutulis saat hujan, sebagai jawaban dari tanya yang mungkin terjawab dari isyarat. karena rasa tak berbicara hanya lewat kata “iya” atau sekedar “kontak mata yang bertahan lama tanpa kedip”
Ada kisah seekor burung yang selalu ingin bebas. Ia selalu terbang dengan kepakan sayap yang mengisyaratkan bahwa sayapnya adalah sayap terkuat yang tak mungkin bisa patah. Burung itu berwarna putih, membuatnya selalu berpikir bahwa hidupnya akan seputih warna tubuhnya. Tatapan matanya memiliki dua kekuatan, ketajaman sebagai pertahan diri, dan kesenduan sebagai kejujuran yang dimilikinya.
Katakankan saja bahwa ia adalah burung yang perasa, sensitif dan mudah jatuh cinta. Suatu ketika ia merasakan detak yang menyentuh seluruh indra tubuhnya untuk berhenti merasakan banyak hal. Detak itu menuntutnya untuk merasakan satu hal saja. Maka ia mengikuti detak itu dan meruntuhkan seluruh pertahanan yang dibangunnya selama ini. Ia terhanyut akan segala hal yang dibuat detak itu. Detak itu bernama cinta. Ya burung putih itu jatuh cinta dan melupakan tentang kepercayaannya akan cinta yang benar. Maka diapun terus mencintai tanpa interupsi, dia mencintai dengan jiwanya, dia mencintai dengan sepenuh hatinya yang seperti kapas.
Burung putih itu dipertemukan dengan burung yang ia pikir sewarna dengannya, maka ia pun berani memupuk rasa. Kedua burung ia berbicara isyarat layaknya langit yang menghempas kata lewat angin. Dengan waktu yang menjembatani. Satu kesalahan lagi dari burung putih, ia masih berpikir bahwa mereka memiliki warna yang sama. Padahal ia telah buta oleh rasanya.
Maka suatu hari burung putih itupun terbang dengan sayapnya yang lantang, mencoba mencari sesuatu yang bisa menghiburnya saat sore berubah senja. Ia terbang, terbang sangat tinggi. Namun bukan penghiburan yang ditemukannya, melainkan burung yang ia pikir sewarna dengannya sedang menikmati senja seolah dunia dalam genggamannya. Setidaknya burung lain yang ada digenggamannnya saat itu.
Burung putih menatap kedua burung yang sedang bercumbu mesra itu dengan tatapan tajamnya. Ia terus menatap tanpa mengedipkan matanya sedetikpun. Membuatnya lupa bahwa ia sedang terbang tinggi saat itu dan saat ia ingat bahwa ia berada diketinggian, ia terlanjur kehilangan keseimbangan yang membuatnya terjatuh dengan keadaan sayap yang membentur. Sayapnya patah. Sayapnya menggores luka yang berbekas. Sayapnya melukis sakit yang tak mungkin bisa terlupakan. Sayapnya patah, patah sepatah-patahnya.
Sejak hari itu, burung putih tak lagi bisa terbang dan melantangkan sayap kokohnya seperti dulu. Ia kehilangan tatapan tajam yang dulu ia jadikan pertahanan untuk dirinya.
Sekarang ia hanyalah seekor burung dengan sayap yang patah sepatah-patahnya.
Yang hanya bisa melangkah namun tak mampu menghapus luka.
ada lembaran yang menuliskan satu kalimat seperti ini “ jika kau kira dengan sebelah sayap aku akan terkoyak. maka, camkanlah dengan sebelah sayap itu akan kujelajahi gunung, ombak-ombak, samudera dan gemintang diangkasa” tulisan yang sangat bagus. namun sayang, burung putih itu terlanjur mematahkan sayapnya yang satu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar