Baiknya jangan mempertanyakan sesuatu yang jelas jawabannya. Sekedar Make
Sure bukanlah hal baik untuk perbincangan hati. ada hal yang tanpa ditanya akan
terjawab sendiri, ada hal yang mampu dijawab namun hanya bisa sekali karena
terlalu sakit untuk diulang. ada banyak hal yang kita tahu namun tak perlu
diberitahu. seperti kisah kecil ini, yang kutulis saat hujan, sebagai jawaban
dari tanya yang mungkin terjawab dari isyarat. karena rasa tak berbicara hanya
lewat kata “iya” atau sekedar “kontak mata yang bertahan lama tanpa kedip”
Ada kisah seekor burung yang selalu ingin bebas.
Ia selalu terbang dengan kepakan sayap yang mengisyaratkan bahwa sayapnya
adalah sayap terkuat yang tak mungkin bisa patah. Burung itu berwarna putih,
membuatnya selalu berpikir bahwa hidupnya akan seputih warna tubuhnya. Tatapan
matanya memiliki dua kekuatan, ketajaman sebagai pertahan diri, dan kesenduan sebagai
kejujuran yang dimilikinya.
Katakankan saja bahwa ia adalah burung yang
perasa, sensitif dan mudah jatuh cinta. Suatu ketika ia merasakan detak yang
menyentuh seluruh indra tubuhnya untuk berhenti merasakan banyak hal. Detak itu
menuntutnya untuk merasakan satu hal saja. Maka ia mengikuti detak itu dan
meruntuhkan seluruh pertahanan yang dibangunnya selama ini. Ia terhanyut akan
segala hal yang dibuat detak itu. Detak itu bernama cinta. Ya burung putih itu
jatuh cinta dan melupakan tentang kepercayaannya akan cinta yang benar. Maka
diapun terus mencintai tanpa interupsi, dia mencintai dengan jiwanya, dia
mencintai dengan sepenuh hatinya yang seperti kapas.
Burung putih itu dipertemukan dengan burung yang
ia pikir sewarna dengannya, maka ia pun berani memupuk rasa. Kedua burung ia
berbicara isyarat layaknya langit yang menghempas kata lewat angin. Dengan
waktu yang menjembatani. Satu kesalahan lagi dari burung putih, ia masih
berpikir bahwa mereka memiliki warna yang sama. Padahal ia telah buta oleh
rasanya.
Maka suatu hari burung putih itupun terbang dengan
sayapnya yang lantang, mencoba mencari sesuatu yang bisa menghiburnya saat sore
berubah senja. Ia terbang, terbang sangat tinggi. Namun bukan penghiburan yang
ditemukannya, melainkan burung yang ia pikir sewarna dengannya sedang menikmati
senja seolah dunia dalam genggamannya. Setidaknya burung lain yang ada
digenggamannnya saat itu.
Burung putih menatap kedua burung yang sedang
bercumbu mesra itu dengan tatapan tajamnya. Ia terus menatap tanpa mengedipkan
matanya sedetikpun. Membuatnya lupa bahwa ia sedang terbang tinggi saat itu dan
saat ia ingat bahwa ia berada diketinggian, ia terlanjur kehilangan
keseimbangan yang membuatnya terjatuh dengan keadaan sayap yang membentur.
Sayapnya patah. Sayapnya menggores luka yang berbekas. Sayapnya melukis sakit
yang tak mungkin bisa terlupakan. Sayapnya patah, patah sepatah-patahnya.
Sejak hari itu, burung putih tak lagi bisa terbang
dan melantangkan sayap kokohnya seperti dulu. Ia kehilangan tatapan tajam yang
dulu ia jadikan pertahanan untuk dirinya.
Sekarang ia hanyalah seekor burung dengan sayap
yang patah sepatah-patahnya.
Yang hanya bisa melangkah namun tak mampu
menghapus luka.
ada lembaran yang menuliskan satu kalimat seperti ini “ jika kau kira
dengan sebelah sayap aku akan terkoyak. maka, camkanlah dengan sebelah sayap
itu akan kujelajahi gunung, ombak-ombak, samudera dan gemintang diangkasa”
tulisan yang sangat bagus. namun sayang, burung putih itu terlanjur mematahkan
sayapnya yang satu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar