Jumat, 16 Agustus 2013

Puisi Amatir untuk Negeri

Adakah yang lebih lirih dari ucapan selamat ulang tahun yang ternoda oleh jerit tangis anak Pertiwi?
Carut marut moral
Acak kadut filosofi
Dan arogansi mayoritas…
Negeriku, bukan seperti yang saat ini dipertontonkan
Negeriku, harusnya seindah keberagamannya
Setegar lambang garuda dengan pilar-pilarnya
Negeriku, harusnya negeri yang berbinekha

Adakah yang lebih lirih dari situasi sekarang? Dimana tikus kotor menggerogoti moralitas… 
Negeriku kini dimoderatori kelalaian….
Buku-buku yang harusnya jadi suplemen generasi muda kini berubah fungsi menjadi paparan pornografi. Menelanjangi nalar dengan materi busuk!

Oh ibu Pertiwi…
Saat menulis ini aku sendiri tak yakin aku orang suci
Bisa jadi aku hanya pintar mengoreksi….
Ibu Pertiwi
Biar aku menjelma jalang
Aku tetap satu dari anakmu yang malang
Yang mampunya berkarya amatir
Hanya untuk satu tujuan, yaitu menahan air matamu yang terlanjur tak henti sejak dulu
Sejak, jaman kemerdekaan entah ditempo yang mana…

Aku tak berkutik jika bicara sayap

Aku tak berkutik jika bicara tentang sayap.
Sebab aku tak punya sayap lagi.
Dulu pernah aku punya sayap
Sekarang sudah tidak.
Dulu iya aku sering terbang melayang.
Sekarang tidak lagi.
Aku tak berkutik jika bicara sayap
Sebab sayap hanya milik yang sigap.
Sigap bertempur, sigap bangkit setelah jatuh.
Aku ini orang lambat, jarang bisa sigap.
Tapi, aku lambat kadang saking sangat menikmati.
Walaupun aku tak berkutik jika bicara sayap.
Aku sudah berani memantapkan sikap
Bahwa memang aku sudah tak bersayap lagi, sudah tak bisa terbang dan melambung tinggi lagi.
Sekarang, aku berjalan, menapaki jejak yang terbentang dan mulai menikmati rasanya berjalan.
Sekarang aku berjalan dengan dua kaki.
Dan tak’kan kubiarkan dua kakiku teramputasi rasa ataupun harap yang tak harus menyata.
Aaaah, senang rasanya punya kaki, lebih manusiawi ketimbang harus bersayap


Merpati Penghantar Pesan

Disudut sana, jauh dari tempatku berpijak, terlihat sesosok tubuh yang lusuh. Ia berdiri dengan sisa kemampuannya dan menatap langit dengan simpulan senyum yang kutahu menyimpan kerinduan dalam. Sosok itu terus melambaikan satu tangannya dengan lembut sambil memegang sangkar kosong yang terbuka ditangan satunya.
Penasaran, aku pun menghampiri dan berdiri tepat disamping kirinya dan menatap langit yang sama dengan arah tatapan mata rindunya. Sesekali mencoba menemukan makna dari tatapan dan lambaian sosok itu.
Ketika aku terhanyut dalam pikiranku, tiba-tiba sosok itu berkata padaku, matanya tetap menatap langit “Hey, anak muda, kau tak’kan menemukan apapun dengan tatapan memicing seperti itu. Untuk bisa menemukan sesuatu, kau harus terlebih dahulu merasakan sesuatu.”
Aku terlonjak dan melihat kearahnya, “Perasaan seperti apa yang kau maksud? Dan apa yang kau temukan setelah sebegitu lekatnya menatap langit?”
Dia tersenyum tipis, namun tetap tak memandang kearahku. “Aku tak pernah menemukan apapun, hanya…. Aku yang berharap ditemukan.”
“Ditemukan?” dia mulai membuatku bingung.
Orangtua itu tetap bergeming.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik…
“Tepat 21 tahun yang lalu, kekasih hatiku telah pergi jauh dari hidupku. Dia meninggalkanku sendiri didunia yang semakin kehilangan arah ini. Dan sejak hari kepergiannya, aku selalu disini setiap peringatan ulang tahun pernikahan kami. Membeli dua ekor merpati dan menulis surat-surat, mengikatnya dikaki merpati itu lalu membebaskannya.”
Aku terdiam mendengar ceritanya. Tersentuh. Berharap kesetiaan yang terjaga seperti itu bukan hanya berupa mimpi. Aku terdiam sangat lama hingga tak menyadari sosok itu telah menutup sangkar burung yang dipegangnya dan beranjak perlahan. Aku terlonjak saat ia berlalu dan sedikit berteriak padanya
“Tunggu, bukankah tadi kau bilang ada 2 merpati dengan ikatan surat dikaki masing-masing merpati itu? Lantas untuk siapa surat yang satunya lagi?”
Dia berbalik, untuk pertama kalinya dia menatap mataku dan tersenyum kecil. Dan kusadari, bahwa diwajahnya masih terpeta aliran airmata.
“Surat pada kaki merpati yang satu lagi kukirim untuk Tuhan. Agar dia bisa menemukanku seperti dia menemukan kekasih hatiku. Dan kemudian menyatukanku lagi dengannya.”
“Selamat menikmati senja anak muda….”
Dan kini aku hanya menatap punggung sosok itu hingga tak terlihat dipelupuk mata.

Dan menikmati senja, senja yang hari itu seperti tersenyum menang, karena berhasil membuktikan bahwa “Setia adalah pekerjaan yang selalu baik”

Kamis, 15 Agustus 2013

Bukti keberadaan Tuhan yang paling nikmat ;)

Mau tahu cara melihat Tuhan? Pssstt sini ku bisikkan, tapi ingat, sampaikan hanya pada mereka yang ma(mp)u memahami. "Caranya adalah tatap wajah sahabatmu dengan penuh kasih"....
Tahukah kau?? Bahwa Tuhan ada dimata sendu sahabatmu, Tuhan ada ditawa ceria mereka, Tuhan ada di isak tangis mereka. Tuhan ada disetiap tepukan pundak sahabatmu. Kau mengerti maksudku?



Kau tak perlu berkelana jauh mencari Tuhan. Keberadaan sahabatmu adalah bukti keberadaan Tuhan yang indah. Sahabatmu masih ciptaan Tuhan, bukan?!

Tangan yang dipakai sahabatmu untuk memegang ataupun menepukmu itu tangan yang diberi Tuhan.
Senyuman yang tersimpul diwajah sahabatmu itu juga senyuman yang diberikan Tuhan.
Dan airmata yang jatuh dari pelupuk sahabatmu,,, percayalah... Itu jatuh atas kemauan Tuhan.
Agar kau memahami makna keberadaannya.



Dan sesungguhnya golongan orang yang kusebut tak ma(mp)u mengerti adalah mereka yang menggunakan ototnya untuk mendebat tanpa belas kasih.

Mereka yang berteriak lantang bukan untuk menyelamatkanmu, namun untuk menjatuhkanmu.
Mereka yang tertawa bersamamu namun masih bertanya "Kau lagi sedih?" saat matamu redup.
Mereka yang tahu tentangmu namun tak mengerti dirimu.



Maka, berdoalah agar Tuhan memberimu sahabat yang mendebat dengan hati mereka untuk kebaikanmu... Bukan sebaliknya.

Berdoalah pada Tuhan untuk memberimu sahabat yang tak letih bertanya "Apa yang bisa kita lakukan bersama?"
Berdoalah agar kau dapat melihat Tuhan dalam wujud sahabat yang mengasihimu tulus tanpa pamrih.



Psssst,, sini.. Kuberitahu satu hal lagi...

Bersahabat denganku tak mudah. Semua orang berlomba melabeliku dengan tetek bengek isi otak mereka. Mereka lupa, untuk menilai HATI juga harus ikut serta.
Kadang mereka juga lupa, bahwa esensi menilai itu tetap hak Tuhan. Manusia sebaik apapun tak layak memandang buruk sesamanya. Karena tak ada definisi tentang baik/buruk yang akurat.
Bersahabat denganku tak mudah. Kukatakan ini dari dulu, sekarang dan nanti. Tapi, tetap hakmu untuk bertahan atau berlalu tanpa belas kasih.
Dan, jangan lupa (lagi) tentang satu hal. Aku sama denganmu. Kita. Sama. Kita ciptaan Tuhan :)
Tuhan Yang Maha Sempurna....
Tuhan yang kupanggil Ya Rabb
Tuhan yang berwujud apapun dan kunikmati lewat keberadaan sahabatku..
Tuhan yang Maha Menilai dengan Sempurna
Tuhan Yang Maha Tahu bahwa terima kasihku sedalam (mungkin lebih dalam dari) samudera atas keberadaan-Nya dimata sahabat-sahabatku.



Jadi.... Maukah kau, dan kalian (tetap) bersahabat denganku?? Walau banyak kicauan tentang aku yang menjelma jalang. Maukah??

Meja Acak

Jejak-jejak silam
Merangkak pelan-pelan menuju malam
Kau tersungkur kenangan meragu
Tapaki rasa yang berbalut kenangan
Ini entah gelas ke berapa
Ini entah malam ke berapa
Entah menunggu untuk apa
Terpaku menyisa luka
Terbujur mendekap kaku
Ini bentuk pilu yang lirih
Merasuk ke setiap inci sukma
Meleburkan satu demi satu luka itu
Dan membingkai jejak
Pada mu, mengadu hanya menambah kelabu
Malam ku lalu membatu
Kubangan mana yang kau lalui
Jalanan mana yang kau tempuh
Cipratan pilu yang kau bungkam
Jika kemanapun kau melangkah
Kau terbungkam suara angin
Terpental jalinan buntu
Kau meronta…
Sayang, tak ada yang mau dengar…
Maka jejak yang ku bingkai
Pilu yang terangkai
Hanya jadi sejarah yang sisakan bau bangkai
Yang sudah terlambat utuk di sesali
Tapi apa pun sesal mu tak apa
Apa pun cemooh mu tak masalah
Karena raga mu ada
Karena bayang mu betah
Sebab itu, jejaki masa silam mu…