Jumat, 06 Desember 2013

Ibu Kota

Tempat berpijak
Menjelajah
Berteduh walau panas tak bisa terhindar
Tak jarang aku terlunta-lunta disini
Terombang-ambing walau kuteriakan aku punya prinsip
Tempatku bertahan dari badai persepsi dan prasangka

Walau hidup, aku juga pernah terbunuh obsesi untuk mensejajarkan diri
Disini aku belajar menempa diri
Aku belajar mengenali mana teman dan musuh
Aku meresapi banyak makna
Aku merekam jejak yang datang dan pergi
Disini, aku mencoba sekuat baja
Dan disini juga, aku pernah serapuh kulit kayu
Aku pernah jatuh dan bangkit!
Disini tempatku menjalani hidup
Dan dengan segala yang kupunya, disini… aku hidup
Di Ibu Kota…

Ibu Kota yang dengan tabah hanya rela menjadi saksi hidup dan mati para Insan yang mulai lupa merawat hati dan raganya…

Aku rindu berpuisi

Desember membawa hujan dengan segala kesenduan
Kupikir, sebagai pecinta hujan, aku tak’kan sebegitu rapuh menghadapi sendu itu
Namun keadaan terlanjur melontarkan ketetapan untukku
Ketetapan yang oleh-Nya dititipkan untukku
Dan pada waktu yang kupikir dalam genggamanku, aku tak malah tak mampu berkutik
Kata per kata yang biasa mengalir deras dari jiwaku tersumbat
Dan tak bisa kusuarakan pada ruang bebas
Aku tecekat bagai membisu
Aku terpenjara kerinduan
Aku rindu berdiri dan berbicara rasa
Aku rindu menjadikan jantungku sebagai genderang perang saat menatap mata-mata dalam ruang
Aku rindu merangkai abjad menjadi serangkaian kata
Aku rindu mendengar dan meresapi kata-kata yang mengalir indah dari jiwa Insan
Aku rindu berpuisi
Dan aku hanya ingin berpuisi

Aku rindu berpuisi

Selasa, 03 September 2013

Namamu bagai selarik Mantra

Mengukir namamu
Dan kemudian rasaku membisu
Rasaku mengatup seolah tak mampu mengecap sensasi
Namamu bagai selarik Mantra

Menghisap sadarku kealam bisu
Membuatku tak berkutik
Dan hanya mampu meliat, mendengar, dan seolah merasakanmu
Kau bagai selarik Mantra

Setiap lagu yang kulantunkan menjelma tentangmu
Setiap kata yang kutulis pun membentuk namamu
Napasku telah mengepul membentukmu
Kau bagai selarik Mantra

Segala tentangmu....
Mengguncang sadarku dan menghisap rasaku bagai gravitasi
Namamu bagai selarik Mantra

Jumat, 16 Agustus 2013

Puisi Amatir untuk Negeri

Adakah yang lebih lirih dari ucapan selamat ulang tahun yang ternoda oleh jerit tangis anak Pertiwi?
Carut marut moral
Acak kadut filosofi
Dan arogansi mayoritas…
Negeriku, bukan seperti yang saat ini dipertontonkan
Negeriku, harusnya seindah keberagamannya
Setegar lambang garuda dengan pilar-pilarnya
Negeriku, harusnya negeri yang berbinekha

Adakah yang lebih lirih dari situasi sekarang? Dimana tikus kotor menggerogoti moralitas… 
Negeriku kini dimoderatori kelalaian….
Buku-buku yang harusnya jadi suplemen generasi muda kini berubah fungsi menjadi paparan pornografi. Menelanjangi nalar dengan materi busuk!

Oh ibu Pertiwi…
Saat menulis ini aku sendiri tak yakin aku orang suci
Bisa jadi aku hanya pintar mengoreksi….
Ibu Pertiwi
Biar aku menjelma jalang
Aku tetap satu dari anakmu yang malang
Yang mampunya berkarya amatir
Hanya untuk satu tujuan, yaitu menahan air matamu yang terlanjur tak henti sejak dulu
Sejak, jaman kemerdekaan entah ditempo yang mana…

Aku tak berkutik jika bicara sayap

Aku tak berkutik jika bicara tentang sayap.
Sebab aku tak punya sayap lagi.
Dulu pernah aku punya sayap
Sekarang sudah tidak.
Dulu iya aku sering terbang melayang.
Sekarang tidak lagi.
Aku tak berkutik jika bicara sayap
Sebab sayap hanya milik yang sigap.
Sigap bertempur, sigap bangkit setelah jatuh.
Aku ini orang lambat, jarang bisa sigap.
Tapi, aku lambat kadang saking sangat menikmati.
Walaupun aku tak berkutik jika bicara sayap.
Aku sudah berani memantapkan sikap
Bahwa memang aku sudah tak bersayap lagi, sudah tak bisa terbang dan melambung tinggi lagi.
Sekarang, aku berjalan, menapaki jejak yang terbentang dan mulai menikmati rasanya berjalan.
Sekarang aku berjalan dengan dua kaki.
Dan tak’kan kubiarkan dua kakiku teramputasi rasa ataupun harap yang tak harus menyata.
Aaaah, senang rasanya punya kaki, lebih manusiawi ketimbang harus bersayap


Merpati Penghantar Pesan

Disudut sana, jauh dari tempatku berpijak, terlihat sesosok tubuh yang lusuh. Ia berdiri dengan sisa kemampuannya dan menatap langit dengan simpulan senyum yang kutahu menyimpan kerinduan dalam. Sosok itu terus melambaikan satu tangannya dengan lembut sambil memegang sangkar kosong yang terbuka ditangan satunya.
Penasaran, aku pun menghampiri dan berdiri tepat disamping kirinya dan menatap langit yang sama dengan arah tatapan mata rindunya. Sesekali mencoba menemukan makna dari tatapan dan lambaian sosok itu.
Ketika aku terhanyut dalam pikiranku, tiba-tiba sosok itu berkata padaku, matanya tetap menatap langit “Hey, anak muda, kau tak’kan menemukan apapun dengan tatapan memicing seperti itu. Untuk bisa menemukan sesuatu, kau harus terlebih dahulu merasakan sesuatu.”
Aku terlonjak dan melihat kearahnya, “Perasaan seperti apa yang kau maksud? Dan apa yang kau temukan setelah sebegitu lekatnya menatap langit?”
Dia tersenyum tipis, namun tetap tak memandang kearahku. “Aku tak pernah menemukan apapun, hanya…. Aku yang berharap ditemukan.”
“Ditemukan?” dia mulai membuatku bingung.
Orangtua itu tetap bergeming.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik…
“Tepat 21 tahun yang lalu, kekasih hatiku telah pergi jauh dari hidupku. Dia meninggalkanku sendiri didunia yang semakin kehilangan arah ini. Dan sejak hari kepergiannya, aku selalu disini setiap peringatan ulang tahun pernikahan kami. Membeli dua ekor merpati dan menulis surat-surat, mengikatnya dikaki merpati itu lalu membebaskannya.”
Aku terdiam mendengar ceritanya. Tersentuh. Berharap kesetiaan yang terjaga seperti itu bukan hanya berupa mimpi. Aku terdiam sangat lama hingga tak menyadari sosok itu telah menutup sangkar burung yang dipegangnya dan beranjak perlahan. Aku terlonjak saat ia berlalu dan sedikit berteriak padanya
“Tunggu, bukankah tadi kau bilang ada 2 merpati dengan ikatan surat dikaki masing-masing merpati itu? Lantas untuk siapa surat yang satunya lagi?”
Dia berbalik, untuk pertama kalinya dia menatap mataku dan tersenyum kecil. Dan kusadari, bahwa diwajahnya masih terpeta aliran airmata.
“Surat pada kaki merpati yang satu lagi kukirim untuk Tuhan. Agar dia bisa menemukanku seperti dia menemukan kekasih hatiku. Dan kemudian menyatukanku lagi dengannya.”
“Selamat menikmati senja anak muda….”
Dan kini aku hanya menatap punggung sosok itu hingga tak terlihat dipelupuk mata.

Dan menikmati senja, senja yang hari itu seperti tersenyum menang, karena berhasil membuktikan bahwa “Setia adalah pekerjaan yang selalu baik”

Kamis, 15 Agustus 2013

Bukti keberadaan Tuhan yang paling nikmat ;)

Mau tahu cara melihat Tuhan? Pssstt sini ku bisikkan, tapi ingat, sampaikan hanya pada mereka yang ma(mp)u memahami. "Caranya adalah tatap wajah sahabatmu dengan penuh kasih"....
Tahukah kau?? Bahwa Tuhan ada dimata sendu sahabatmu, Tuhan ada ditawa ceria mereka, Tuhan ada di isak tangis mereka. Tuhan ada disetiap tepukan pundak sahabatmu. Kau mengerti maksudku?



Kau tak perlu berkelana jauh mencari Tuhan. Keberadaan sahabatmu adalah bukti keberadaan Tuhan yang indah. Sahabatmu masih ciptaan Tuhan, bukan?!

Tangan yang dipakai sahabatmu untuk memegang ataupun menepukmu itu tangan yang diberi Tuhan.
Senyuman yang tersimpul diwajah sahabatmu itu juga senyuman yang diberikan Tuhan.
Dan airmata yang jatuh dari pelupuk sahabatmu,,, percayalah... Itu jatuh atas kemauan Tuhan.
Agar kau memahami makna keberadaannya.



Dan sesungguhnya golongan orang yang kusebut tak ma(mp)u mengerti adalah mereka yang menggunakan ototnya untuk mendebat tanpa belas kasih.

Mereka yang berteriak lantang bukan untuk menyelamatkanmu, namun untuk menjatuhkanmu.
Mereka yang tertawa bersamamu namun masih bertanya "Kau lagi sedih?" saat matamu redup.
Mereka yang tahu tentangmu namun tak mengerti dirimu.



Maka, berdoalah agar Tuhan memberimu sahabat yang mendebat dengan hati mereka untuk kebaikanmu... Bukan sebaliknya.

Berdoalah pada Tuhan untuk memberimu sahabat yang tak letih bertanya "Apa yang bisa kita lakukan bersama?"
Berdoalah agar kau dapat melihat Tuhan dalam wujud sahabat yang mengasihimu tulus tanpa pamrih.



Psssst,, sini.. Kuberitahu satu hal lagi...

Bersahabat denganku tak mudah. Semua orang berlomba melabeliku dengan tetek bengek isi otak mereka. Mereka lupa, untuk menilai HATI juga harus ikut serta.
Kadang mereka juga lupa, bahwa esensi menilai itu tetap hak Tuhan. Manusia sebaik apapun tak layak memandang buruk sesamanya. Karena tak ada definisi tentang baik/buruk yang akurat.
Bersahabat denganku tak mudah. Kukatakan ini dari dulu, sekarang dan nanti. Tapi, tetap hakmu untuk bertahan atau berlalu tanpa belas kasih.
Dan, jangan lupa (lagi) tentang satu hal. Aku sama denganmu. Kita. Sama. Kita ciptaan Tuhan :)
Tuhan Yang Maha Sempurna....
Tuhan yang kupanggil Ya Rabb
Tuhan yang berwujud apapun dan kunikmati lewat keberadaan sahabatku..
Tuhan yang Maha Menilai dengan Sempurna
Tuhan Yang Maha Tahu bahwa terima kasihku sedalam (mungkin lebih dalam dari) samudera atas keberadaan-Nya dimata sahabat-sahabatku.



Jadi.... Maukah kau, dan kalian (tetap) bersahabat denganku?? Walau banyak kicauan tentang aku yang menjelma jalang. Maukah??