Disudut sana, jauh dari tempatku berpijak,
terlihat sesosok tubuh yang lusuh. Ia berdiri dengan sisa kemampuannya dan
menatap langit dengan simpulan senyum yang kutahu menyimpan kerinduan dalam. Sosok itu terus melambaikan satu tangannya dengan lembut sambil memegang
sangkar kosong yang terbuka ditangan satunya.
Penasaran, aku pun menghampiri dan berdiri tepat
disamping kirinya dan menatap langit yang sama dengan arah tatapan mata
rindunya. Sesekali mencoba menemukan makna dari tatapan dan lambaian sosok itu.
Ketika aku terhanyut dalam pikiranku, tiba-tiba sosok
itu berkata padaku, matanya tetap menatap langit “Hey, anak muda, kau tak’kan
menemukan apapun dengan tatapan memicing seperti itu. Untuk bisa menemukan
sesuatu, kau harus terlebih dahulu merasakan sesuatu.”
Aku terlonjak dan melihat kearahnya, “Perasaan
seperti apa yang kau maksud? Dan apa yang kau temukan setelah sebegitu lekatnya
menatap langit?”
Dia tersenyum tipis, namun tetap tak memandang
kearahku. “Aku tak pernah menemukan apapun, hanya…. Aku yang berharap
ditemukan.”
“Ditemukan?” dia mulai membuatku bingung.
Orangtua itu tetap bergeming.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik…
“Tepat 21 tahun yang lalu, kekasih hatiku telah
pergi jauh dari hidupku. Dia meninggalkanku sendiri didunia yang semakin
kehilangan arah ini. Dan sejak hari kepergiannya, aku selalu disini setiap
peringatan ulang tahun pernikahan kami. Membeli dua ekor merpati dan menulis
surat-surat, mengikatnya dikaki merpati itu lalu membebaskannya.”
Aku terdiam mendengar ceritanya. Tersentuh.
Berharap kesetiaan yang terjaga seperti itu bukan hanya berupa mimpi. Aku
terdiam sangat lama hingga tak menyadari sosok itu telah menutup sangkar burung
yang dipegangnya dan beranjak perlahan. Aku terlonjak saat ia berlalu dan sedikit
berteriak padanya
“Tunggu, bukankah tadi kau bilang ada 2 merpati
dengan ikatan surat dikaki masing-masing merpati itu? Lantas untuk siapa surat
yang satunya lagi?”
Dia berbalik, untuk pertama kalinya dia menatap
mataku dan tersenyum kecil. Dan kusadari, bahwa diwajahnya masih terpeta aliran
airmata.
“Surat pada kaki merpati yang satu lagi kukirim
untuk Tuhan. Agar dia bisa menemukanku seperti dia menemukan kekasih hatiku.
Dan kemudian menyatukanku lagi dengannya.”
“Selamat menikmati senja anak muda….”
Dan kini aku hanya menatap punggung sosok itu
hingga tak terlihat dipelupuk mata.
Dan menikmati senja, senja yang hari itu seperti
tersenyum menang, karena berhasil membuktikan bahwa “Setia adalah pekerjaan
yang selalu baik”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar